Selasa, 28 April 2015

unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik para priyayi


Sinopsis
Wanagalih merupakan sebuah ibu kota kabupaten yang hadir sejak abad ke 19. Soedarsono merupakan priyayi keturunan petani. Ia tinggal bersama ndoro seten di Jalan Setenan. Oleh ndoro seten nama Soedarsono diganti menjadi Sastroarsono. Sastro dibantu ndoro seten agar bias menjadi guru bantu di Ploso selatan Jogorogo. Sastrodarsono di jodohkan dengan Aisah putri dari Mukaram mantra menjual candu di Jogorogo dan memiliki tiga orang anak yang bernama Noegroho, Hardojo dan Soemini. Soemini menikah dengan Harjono seorang mantra polisi. Anak-anak Sastrodarsono pergi meninggalkan Wanagalih utuk bersekolah dan melanjutkan kerja mereka di Jogja dan Solo. Keluarga Sastrodarsono merawat keponakan-keponakannya di Wanagalih seperti Soenandar , Ngadiman, Sri dan Darmin. Sastrodarsono mengajak Soenandar diajak mengajar disekolah Wanagalih yang baru didirikan Sastodarsono namun bukan sekolah resmi hanya sekolah untuk belajar membaca,menulis dan berhitung. Ia tinggal di rumah Ngadiyem. Pada akhirnya Ngadiyem hamil namun Soenandar tidak mau bertanggung jawab. Soenandar pergi dan bergabung dengan gerombolan perampok Samin Genjik namun saat bersembunyi di suatu rumah , rumah itu dibakar dan seluruh perampok itu mati terbakar.
Lahir Wage anak dari Ngadiyem namun saat mbok Soemo meninggal dunia Wage selalu di bawa Ngaiyem berjualan tempe. Saat tiba di rumah Sastrodarsono langganan tempe Ngadiyem timbul keinginan Sastro untuk merawat Wage. Oleh Sastro nama Wage diganti menjadi Lantip. Lantip di sekolahkan di tempat Sastrodarsono mengajar. Ngadiyem ibunda Lantip meninggal dunia karena keracunan jamur Lantip pun sangat terpukul. Saat Hardojo menikah dengan Sumarti dan memiliki anak benama Harimurti, Lantip diangkat menjadi anaknya dan di sekolahkan hingga pendidikan tinggi. Saat keluarga Sastrodarsono mempunyai masalah suami dari Soemini ketahuan berselingkuh dengan seorang penyanyi keroncong semua dapat teratasi dengan baik akhirnya Harjono bias lepas dari selirnya tersebut.
Masalah dating kembali Sus istri dari Noegroho membawa kabar bahwa sang anak Marie hamil karena perbuatan Maridjan. Oleh karena itu Sastrodarsono menyuruh Lantip agar membantu menyelesaikan masalah tersebut. Kemudian Lantip pergi menuju Jakarta untuk membantu namun saat itu Noegroho masih bertugas dan belum tahu masalah yang terjadi dan pada akhirnya Maridjan mau betanggung jawab dan menikahi Marie. Saat pernikahan hendak digelar mendapat kabar bahwa embah putrid meninggal dunia segera mereka menuju Wanagalih untuk bertemu embah kakung. Saat tiba di Wanagalih sudah ada keluarga Hardojo karena mereka tinggal di Jogja tentulah paling cepat sampai.
Saat pernikahan berlangsung hujan sangat deras menguyur Jakarta. Masalah kemudian datang dari Harimurti ia berhubungan dengan Gadis dan pada akhirnya Gadis hamil namun belum sempat betanggung jawab Hari harus diserhakan dan pada akhrinya ia menjadi  tahanan rumah berkat Noegroho pakdenya. Ternyata Gadis juga tertangkap Lantip menemuinya di Semarang saat Gadis hendak dikeluarkan dari tahanan Gadis melahirkan terlalu cepat dua anak kembar namun pada akhirnya ia meninggal dunia , Harimurti terpukul atas kejadian tersebut. Tidak lama kemudian semua anak dan cucu Sastrodarsono mendapat kabar bahwa kesehatan embah kakung semakin menurun setelah semua keluarga berkumpul Sastrodarsono pun menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya. Lantip ditunjuk Hari untuk berpidato singkat kepada semua orang.










Unsur intrinsik novel Para Priyayi
A.    Tema
Kehidupan para priyayi yang tidak lepas dari berbagai macam masalah yang ada.

B.     Tokoh dan Penokohan
1.      Tokoh utama
a.       Lantip/ Wage : Rajin, Cerdas
“…wong anak desa sekecil kamu kok ya cepet belajar mengatur rumah priyayi lho.”

2.      Tokoh tambahan utama
a.       Sastrodasono/ Soedasono : baik , adil, keras.
“ Embah guru kakung meskipun orangnya baik, adil, juga keras dan bila marah suka membentak sembari misuh dan mengumpat.”
b.      Dik Ngaisah/ Aisah : sabar, penuh kasih sayang, murah senyum
“Meskipun ia perempuan yang sumeh, murah senyum ia adalah perempuan yang tahu mengendalikan perasaan.”

3.      Tokoh tambahan tidak utama
a.       Noegroho : keras, tegas, berwibawa , sabar dan selalu ikhlas
“……kemudian begitu saja keluar dari mulut saya, bapak ikhlas, le…”
b.      Hardojo : cerdas
“Hardojo anak saya yang kedua mungkin adalah anak saya yang paling cerdas…..”
c.       Soemini : pintar, mengutamakan pendidikan
“saya mau sekolah dulu di Van Deventer,……”
d.      Harimurti : cinta akan kesenian
“…Saya baru pulang dari Temanggung mementaskan Ki Ageng Mangir.”
e.       Harjono : penghianat
“Mas Harjono ternyata punya selir gelap yang disimpan di Rawamangun.”
f.       Susanti : baik hati, sabar, mudah khawatir
“Anakku,anakku nggeeer. Kalau dia mati kena tembak bagaimana, pak.”

g.      Sumarti : baik hati, patuh
“Dan ibu dengan penuh kebaktian melaksanakan permintaan eyang.”
h.      Soenandar : tidak bertanggung jawab
“kemudian pada suatu malam Soenandar minggat.”
i.        Marie : jorok
“Marie! Anak perempuan apa kau itu! Jorok!”
j.        Maridjan :bertanggung jawab
“Inggih, Bu. Saya siap untuk menikah dengan Marie.”

b.      Latar/ Setting :
1.      Latar tempat :
a.       Wanagalih : “Wanagalih adalah kota yang dikeliligi hutan jati.”
b.      Wanalawas : “ …kami duduk di amben di depan rumah kami di Wanalawas.”
c.       Wonogiri : “tempat saya mengajar di HIS Wonogiri yang berjarak kurang lebih tiga puluh kilometer dari kota Solo.”
d.      Solo : “…..waktu menjelang masuk stasiun Sungkrah di Solo hanya wajah Sumarti saja yang terbayang.”
e.       Yogyakarta : “ kami pun lantas untuk sementara waktu pindah lagi ke Yogyakarta ke rumah bude Sus,…”
f.       Jakarta : “ di Jakarta , di rumah pakde Noegroho…..”
g.      Madiotaman : “waktu sampai di Madiotaman,….”
h.      Wates : “Gadis mengajak saya ke Wates untuk berkenalan dengan orang tuanya.”

2.      Latar waktu :
a.       Sore : “pada suatu sore sesudah persinggahan rutin kami di Jalan Setenan.”
b.      Pagi : “esok harinya, pada hari senin.”
c.       Tahun 1910 : “waktu itu sekitar 1910 masehi.”
d.      Tahun 1940 : “tanpa rasa tahu-tahu sudah memasuki tahun 1940”
e.       Hari minggu : “Hari Minggu, agaknya hari pesta pora mereka.”
f.       Tahun 1964 : “kau itu sudah dua puluh sembilan tahun umurmu. Tahun 1964 ini.”
g.      Tahun 1967 : “ tahun 1967 ini Embah Kakung sudah berumur kira-kira delapan puluh tiga tahun”

3.      Latar sosial budaya :
Ndoro guru kakung / Sastrodarsono mengganti nama  Wage menjadi Lantip dan mengadakan selametan bubur merah putih untuk meresmikan nama Lantip dan orang-orang yang menghadiri oleh ndoro gur kakung diajak bersama-sama membaca doa.

c.       Sudut Pandang
Sudut pandang dalam novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama dan posisi pengarang sebagai ‘aku’ atau ‘saya’.
d.      Alur/ Plot
Alur yang digunakan dalam novel para priyayi menggunakan alur campuran karena di awal cerita menceritakan bagaimana terbentuknya Wanagalih kemudian menceritakan tentang Lantip kemudian alur mundur menceritakan Soedarsono / Sastrodarsono.
e.       Gaya bahasa
Gaya bahasa dalam novel ini menggunakan bahasa Indonesia dipadukan dengan bahasa jawa . karena mereka hidup pada zaman Belanda sehingga merekan juga mahir berbahasa Belanda dan sedikit Bahasa Jepang.
f.       Amanat
a.       Kita harusnya menghormati siapa pun terutama ke orang yang lebih tinggi kedudukannya.
b.      Setiap masalah yang ada harus kita hadapi dengan bersabar.




Unsur Ektrinsik

1.      Nilai Sosial
Hubungan antara priyayi ndoro Seten dengan petani desa Atmokasan.
“karena medapat kesempatan mengejakan sawah ndoro Seten itu pula, maka hubungan ndoro seten dengan bapak saya jadi akrab.”
2.      Nilai moral
Kedudukan yang lebih rendah harus menghormati kepada yang lebih tinggi. Seperti Hardojo dengan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII.
3.      Nilai agama
“sehabis itu bapak mengajak yang hadir mengucapkan Al-Fatihah.”
4.      Nilai budaya
Bahasa yang digunakan sedikit menggunakan bahasa Jawa.
“…inggih, Ndoro.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar