Sinopsis
Wanagalih
merupakan sebuah ibu kota kabupaten yang hadir sejak abad ke 19. Soedarsono
merupakan priyayi keturunan petani. Ia tinggal bersama ndoro seten di Jalan
Setenan. Oleh ndoro seten nama Soedarsono diganti menjadi Sastroarsono. Sastro
dibantu ndoro seten agar bias menjadi guru bantu di Ploso selatan Jogorogo.
Sastrodarsono di jodohkan dengan Aisah putri dari Mukaram mantra menjual candu
di Jogorogo dan memiliki tiga orang anak yang bernama Noegroho, Hardojo dan
Soemini. Soemini menikah dengan Harjono seorang mantra polisi. Anak-anak
Sastrodarsono pergi meninggalkan Wanagalih utuk bersekolah dan melanjutkan kerja
mereka di Jogja dan Solo. Keluarga Sastrodarsono merawat keponakan-keponakannya
di Wanagalih seperti Soenandar , Ngadiman, Sri dan Darmin. Sastrodarsono
mengajak Soenandar diajak mengajar disekolah Wanagalih yang baru didirikan
Sastodarsono namun bukan sekolah resmi hanya sekolah untuk belajar
membaca,menulis dan berhitung. Ia tinggal di rumah Ngadiyem. Pada akhirnya
Ngadiyem hamil namun Soenandar tidak mau bertanggung jawab. Soenandar pergi dan
bergabung dengan gerombolan perampok Samin Genjik namun saat bersembunyi di
suatu rumah , rumah itu dibakar dan seluruh perampok itu mati terbakar.
Lahir
Wage anak dari Ngadiyem namun saat mbok Soemo meninggal dunia Wage selalu di
bawa Ngaiyem berjualan tempe. Saat tiba di rumah Sastrodarsono langganan tempe
Ngadiyem timbul keinginan Sastro untuk merawat Wage. Oleh Sastro nama Wage
diganti menjadi Lantip. Lantip di sekolahkan di tempat Sastrodarsono mengajar.
Ngadiyem ibunda Lantip meninggal dunia karena keracunan jamur Lantip pun sangat
terpukul. Saat Hardojo menikah dengan Sumarti dan memiliki anak benama
Harimurti, Lantip diangkat menjadi anaknya dan di sekolahkan hingga pendidikan
tinggi. Saat keluarga Sastrodarsono mempunyai masalah suami dari Soemini
ketahuan berselingkuh dengan seorang penyanyi keroncong semua dapat teratasi
dengan baik akhirnya Harjono bias lepas dari selirnya tersebut.
Masalah
dating kembali Sus istri dari Noegroho membawa kabar bahwa sang anak Marie
hamil karena perbuatan Maridjan. Oleh karena itu Sastrodarsono menyuruh Lantip
agar membantu menyelesaikan masalah tersebut. Kemudian Lantip pergi menuju
Jakarta untuk membantu namun saat itu Noegroho masih bertugas dan belum tahu
masalah yang terjadi dan pada akhirnya Maridjan mau betanggung jawab dan
menikahi Marie. Saat pernikahan hendak digelar mendapat kabar bahwa embah
putrid meninggal dunia segera mereka menuju Wanagalih untuk bertemu embah
kakung. Saat tiba di Wanagalih sudah ada keluarga Hardojo karena mereka tinggal
di Jogja tentulah paling cepat sampai.
Saat
pernikahan berlangsung hujan sangat deras menguyur Jakarta. Masalah kemudian
datang dari Harimurti ia berhubungan dengan Gadis dan pada akhirnya Gadis hamil
namun belum sempat betanggung jawab Hari harus diserhakan dan pada akhrinya ia
menjadi tahanan rumah berkat Noegroho
pakdenya. Ternyata Gadis juga tertangkap Lantip menemuinya di Semarang saat
Gadis hendak dikeluarkan dari tahanan Gadis melahirkan terlalu cepat dua anak
kembar namun pada akhirnya ia meninggal dunia , Harimurti terpukul atas
kejadian tersebut. Tidak lama kemudian semua anak dan cucu Sastrodarsono
mendapat kabar bahwa kesehatan embah kakung semakin menurun setelah semua
keluarga berkumpul Sastrodarsono pun menghembuskan nafas untuk yang terakhir
kalinya. Lantip ditunjuk Hari untuk berpidato singkat kepada semua orang.
Unsur
intrinsik novel Para Priyayi
A. Tema
Kehidupan
para priyayi yang tidak lepas dari berbagai macam masalah yang ada.
B. Tokoh
dan Penokohan
1. Tokoh
utama
a. Lantip/
Wage : Rajin, Cerdas
“…wong anak desa
sekecil kamu kok ya cepet belajar mengatur rumah priyayi lho.”
2. Tokoh
tambahan utama
a. Sastrodasono/
Soedasono : baik , adil, keras.
“ Embah guru kakung
meskipun orangnya baik, adil, juga keras dan bila marah suka membentak sembari
misuh dan mengumpat.”
b. Dik
Ngaisah/ Aisah : sabar, penuh kasih sayang, murah senyum
“Meskipun ia perempuan
yang sumeh, murah senyum ia adalah perempuan yang tahu mengendalikan perasaan.”
3. Tokoh
tambahan tidak utama
a. Noegroho
: keras, tegas, berwibawa , sabar dan selalu ikhlas
“……kemudian begitu saja
keluar dari mulut saya, bapak ikhlas, le…”
b. Hardojo
: cerdas
“Hardojo anak saya yang
kedua mungkin adalah anak saya yang paling cerdas…..”
c. Soemini
: pintar, mengutamakan pendidikan
“saya mau sekolah dulu
di Van Deventer,……”
d. Harimurti
: cinta akan kesenian
“…Saya baru pulang dari
Temanggung mementaskan Ki Ageng Mangir.”
e. Harjono
: penghianat
“Mas Harjono ternyata
punya selir gelap yang disimpan di Rawamangun.”
f. Susanti
: baik hati, sabar, mudah khawatir
“Anakku,anakku nggeeer.
Kalau dia mati kena tembak bagaimana, pak.”
g. Sumarti
: baik hati, patuh
“Dan ibu dengan penuh
kebaktian melaksanakan permintaan eyang.”
h. Soenandar
: tidak bertanggung jawab
“kemudian pada suatu
malam Soenandar minggat.”
i.
Marie : jorok
“Marie! Anak perempuan
apa kau itu! Jorok!”
j.
Maridjan :bertanggung jawab
“Inggih,
Bu. Saya siap untuk menikah dengan Marie.”
b. Latar/
Setting :
1. Latar
tempat :
a. Wanagalih
: “Wanagalih adalah kota yang dikeliligi hutan jati.”
b. Wanalawas
: “ …kami duduk di amben di depan rumah kami di Wanalawas.”
c. Wonogiri
: “tempat saya mengajar di HIS Wonogiri yang berjarak kurang lebih tiga puluh
kilometer dari kota Solo.”
d. Solo
: “…..waktu menjelang masuk stasiun Sungkrah di Solo hanya wajah Sumarti saja
yang terbayang.”
e. Yogyakarta
: “ kami pun lantas untuk sementara waktu pindah lagi ke Yogyakarta ke rumah
bude Sus,…”
f. Jakarta
: “ di Jakarta , di rumah pakde Noegroho…..”
g. Madiotaman
: “waktu sampai di Madiotaman,….”
h. Wates
: “Gadis mengajak saya ke Wates untuk berkenalan dengan orang tuanya.”
2. Latar
waktu :
a. Sore
: “pada suatu sore sesudah persinggahan rutin kami di Jalan Setenan.”
b. Pagi
: “esok harinya, pada hari senin.”
c. Tahun
1910 : “waktu itu sekitar 1910 masehi.”
d. Tahun
1940 : “tanpa rasa tahu-tahu sudah memasuki tahun 1940”
e. Hari
minggu : “Hari Minggu, agaknya hari pesta pora mereka.”
f. Tahun
1964 : “kau itu sudah dua puluh sembilan tahun umurmu. Tahun 1964 ini.”
g. Tahun
1967 : “ tahun 1967 ini Embah Kakung sudah berumur kira-kira delapan puluh tiga
tahun”
3. Latar
sosial budaya :
Ndoro guru kakung / Sastrodarsono
mengganti nama Wage menjadi Lantip dan mengadakan
selametan bubur merah putih untuk meresmikan nama Lantip dan orang-orang yang
menghadiri oleh ndoro gur kakung diajak bersama-sama membaca doa.
c. Sudut Pandang
Sudut pandang
dalam novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama dan posisi pengarang
sebagai ‘aku’ atau ‘saya’.
d. Alur/ Plot
Alur yang
digunakan dalam novel para priyayi menggunakan alur campuran karena di awal
cerita menceritakan bagaimana terbentuknya Wanagalih kemudian menceritakan
tentang Lantip kemudian alur mundur menceritakan Soedarsono / Sastrodarsono.
e. Gaya bahasa
Gaya bahasa
dalam novel ini menggunakan bahasa Indonesia dipadukan dengan bahasa jawa .
karena mereka hidup pada zaman Belanda sehingga merekan juga mahir berbahasa
Belanda dan sedikit Bahasa Jepang.
f. Amanat
a. Kita harusnya menghormati siapa pun terutama ke orang yang lebih tinggi
kedudukannya.
b. Setiap masalah yang ada harus kita hadapi dengan bersabar.
Unsur Ektrinsik
1. Nilai Sosial
Hubungan antara
priyayi ndoro Seten dengan petani desa Atmokasan.
“karena medapat kesempatan
mengejakan sawah ndoro Seten itu pula, maka hubungan ndoro seten dengan bapak
saya jadi akrab.”
2. Nilai moral
Kedudukan yang
lebih rendah harus menghormati kepada yang lebih tinggi. Seperti Hardojo dengan
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII.
3. Nilai agama
“sehabis itu
bapak mengajak yang hadir mengucapkan Al-Fatihah.”
4. Nilai budaya
Bahasa yang
digunakan sedikit menggunakan bahasa Jawa.
“…inggih,
Ndoro.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar